Sabtu, 12 November 2016

We weren't really, 'talking'

Kalau daun sudah jatuh, memang tak kan bisa kembali lagi. Kalau kertas sudah robek, tak bisa disatukan lagi. Kalau sudah jauh teriak tak terdengar lagi. Sesekali membuka buku lama, belum semuanya terpapar tinta. Ketika kata coba dan sabar masih bisa bersatu, sayangnya terlampau lelah untuk berlari. Lari dan lari.
Kata apa yang ingin tersampaikan? Banyak. Tetapi tak mungkin tanpa pendengar. Maksud apa yang ingin disampaikan? Banyak. Tetapi tak mungkin tanpa penalar. Cerita apa yang ingin diperdengarkan? Tak ada. Tak bisa.
Melukis saja selama yang dibisa. Karena persepsi tak kan bisa dipahami tanpa dikatakan. Segara ketidakacuhan, tak kan dimengerti tanpa disadari. Lalu mana waktunya? Gunakan waktu lampau, sesekali saja bila memang baik-baik saja. Sayangnya sesekali pun tak baik.Lost of the word, we couldn't talk. We weren't really talking.

Rabu, 31 Agustus 2016

Ini Rahasia

"Kau mau pulang sekarang?" Tanyaku.
"Tidak ada alasan untuk tetap disini kan?"
Aku mengernyitkan dahi. "Kau marah?"
"Tidak."Jawabnya sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Bolpoin, kertas binder, laptop, dan chargernya.
Aku mengeluarkan secarik kertas kemudian menuliskan sesuatu disana. Dia meliriknya.
"Apa itu?"
"Rahasia." Ku bilang, kemudian melipatnya dan ku taruh di saku bajuku.
Dia mengernyitkan dahinya lagi. "Ya sudah." Katanya sambil menutup tas.
"Kamu nggak penasaran?"
"Bukannya kamu bilang rahasia?"
"Iya. Kamu nggak penasaran?"
Dia menghela nafas, menoleh ke arahku. "Jadi, apa itu?"
"Rahasia." Jawabku lagi.
"Bisan, kau sedang bermain-main denganku? Sudahlah, lupakan."Katanya lagi, kemudian beranjak pergi.
"Kamu."
"Eh?" Dia berbalik mendengar perkataanku.
Aku membuka kertas yang kulipat tadi kemudian kutunjukkan padanya.
Mukanya memerah setelah membaca tulisanku.
"Itu...."
"Ini rahasiaku, sekarang sudah menjadi rahasiamu juga."
Dia terdiam memandang kertas yang ditanganku. "Aku... Aku pulang dulu."Katanya.
"Ya."Jawabku, aku melihatnya berbalik melewati pintu kelas dan menghilang dari pandanganku.
Aku tersenyum, membalik kertas yang sedari tadi ku pegang, rahasiaku. Namamu.

Sabtu, 23 Juli 2016

Sedikit saja

Sekedar bercerita, tak banyak, hanya sedikit. Aku belum mengenali halnya sama seperti diawal. Percakapan itu tak dimulai dengan tawa pun dengan kesungguhan, seadanya. Cukup, sudah mengerti memang sekedarnya saja.
'Selamat pagi' pengulangan rutinitas saja tak ada inisiatif. Mungkin memang sampai diawal saja untuk mengetuk 'pintu'. Akan lebih baik untuk setiap ketidakyakinan yang muncul. Setiap pertanyaan kenapa yang tak bisa terungkap. Berbaik sangka saja hanya belum terbuka itu lebih baik.
Aku tak bisa dengan demikian permintaan seolah aku pernah menjejaknya. Bahkan memoriku samar bila pun aku pernah. Kurasa mungkin begitu cara Tuhan berkata 'belum waktunya'. Dibalik rasa cemas Dia mengerti bagaimana keadaan hati. Terutama mungkin agar tak dengan mudah percaya saja.

Rabu, 20 April 2016

You, Friend

Jarang kutuliskan sebab akibatmu ada disini, pun aku tak tahu apa, kapan, dan bagaimana. Selalu merenda bersama mungkin jawaban tepat. Entah filosofi apa yang kita anut. Entah keyakinan apa yang kita pegang. Namun, keberadaan mampu menyeka duri lain.
Cukup kau berada di sisi, tak sekedar berkata 'Kau baik?' untuk jawaban 'tak apa-apa.'
Aku masih mengaismu didalam hati, tak akan mempertanyakan kamu berdiri untuk siapa. Sudah cukup aku mengerti dengan genggaman erat tanganmu yang tak hanya sekali. Kita menatap bersama meyakinkan kita saling ada. I'm only one call away, right?
Terima kasih bukan kata yang sanggup menjelaskan semuanya. Melihatmu, kita, saling tersenyum tanpa berkata, ya, aku tahu maksudmu. Sahabat.

Ada

Pagi berjalan mendahului malam, enggan beriringan. Tak ada jalan lain berdampingan tak bisa juga. Ada yang masih berusaha meski tak nampak ujung benang merah. Ada yang memalingkan diri memaksa pergi ketika merasa batu kerikil jatuh berkali.
Ada keyakinan ketika memilih diantara dua, bukan. Sudah terjadi, kemudian tegaklah kembali diri. Daun yang sama tak akan gugur dua kali. Lari, angin, terbang.
Rekayasa waktu berusaha mengantarkan rasa membeku, dingin. Peraga tak akan menjawab. Keraguan tak bisa dilepas sendirian, riak bersauh. Diskusi ini tak bisa terasa tak asing. Belum mengerti dengan pola ini, lagi tak mau menyeka luka. Perih, tak sama. Sekali atau dua paling tidak pegangan ini tak pernah lepas.

Minggu, 27 Maret 2016

Bila memang

Kau meminta perhatian segera, menyela ketika saat tiba. Tak senada dengan apa yang kulihat dengan mata, lewat teks yang terkirim adalah orang yang berbeda. Memperlihatkan kebersamaan dengan yang lain melalui pribadi berbeda. Ada nyata sesekali berubah kembali, tak bisakah demikian saja? Ada kemudian keberadaan menyelakan kealpaan, kemudian tergagas tak bisa sama. Sadar.
Besok hari, ada kebetulan, warna biru yang kupakai ternyata senada dengan pilihan. Berjalan melewati beberapa stand makanan yang telah sepi aku melihat dari arah berlawanan, tak sadar dengan tujuan yang ternyata sama. Tak bisa memikirkan cara aku mengiyakan bantuan yang tak ditawarkan. Bodoh.
Aku tak ingin melebihkan sesuatu yang bisa saja terjadi setiap hari dengan yang lain pun tanpa tersadari. Apa yang diinginkan pun tak sejelas aku melihat matahari di pagi. Agaknya demikian realita sehari-hari, dugaan itu tak semata sejalan dengan teori. Ragam cerita dibaliknya mengingatkan agar tak selalu setiap kejadian menyimpan senyum diakhir. Tak kuasa saja kadang tak bisa berkata tidak. Naif.
Kemudian hati tertata kembali, menyegerakan senyum pagi. Ini, tak bisa bila pecah lagi. Ada banyak ketakutan yang sudah berjalan mundur, sembunyi. Garis depan bukan untuk ditunggu, aku tidak. Berjalan lah perlahan, bila itu memang sebenarnya. Sungguh.

Jumat, 26 Februari 2016

Masih

Aku masih mendengarkannya,
Bait-bait lagu yang sering kau perdengarkan
Kau masih mengulangkannya,
Bait-bait yang kau kira adalah alasan kepergian
Tak kukira berulang aku mencari persembunyian
Sayang, hidup sekarang tak bisa tak terlihat
Masih, aku masih mengetahui kabar walaupun diam
Mungkin, bahkan kalau itu benar bukan berarti masih berhak
Hilang, paradoks mini dalam syaraf tak mengiyakan untuk lupa
Terima kasih, bila itu pun masih terdengar

Minggu, 14 Februari 2016

Semacam rahasia

Melihat waktu aku terus merasa terburu, merasa belum juga. Gerangan ada apa atau siapa belum juga jelas. Semacam rahasia yang aku belum boleh tahu. Biar saja, bukankah takkan ada yang namanya kejutan bila sudah. Percaya bukankah itu adalah iman kepadaNya.
Bahagia kamu mungkin segera menjadi kita. Tak melulu perbaiki diri bila hanya untuk bertemu saja. Niat belum lurus, apa daya manusia biasa. Belajar selalu agar tak lagi salah niat, disekitar banyak pengingat, banyak pedoman. Kemudian nanti, sampai saatnya yang menemani dan membimbing sepanjang hidup telah ditentukan waktunya tiba.
Kesempatan pun mungkin berulang terlewat mungkin itu yang Dia maksud agar percayakan saja. Harap hanya pada Nya, pasrahkan kembali pada Nya

Kamis, 21 Januari 2016

Hilangkan

Kutatap lekat kedua bola matanya, sama dengan yang dia lakukan padaku. Ada celah untuk beralih, tapi mataku tak teralih sedikit pun. Mungkin karena aku yang ingin.
"Apa kita sedang jatuh cinta?" Polos dia bertanya padaku. Aku sedikit tertegun, dia bertanya seperti hal tersebut mudah untuk dijawab. "Mungkin tidak." Jawabku, ingin mengetahui reaksinya selanjutnya. Terbukti, raut wajahnya berubah sedikit berkerut bingung tetapi tak meninggalkan pandangannya dari kedua mataku, aku pun masih sama.
"Apa yang seharusnya terjadi kalau jawabannya 'mungkin iya'?" Lagi, dia bertanya.
Aku bukan seorang pecinta bukan juga penyair sekaliber Chairil Anwar dengan kosa kata majemuknya.
Aku diam memandangnya, kuharap aku bisa menjawab pertanyaannya. Kurasa soal matematika lebih mudah ku jawab daripada pertanyaan emosionalnya ini. "Kalo kau masih mempertanyakan itu kurasa selamanya itu masih 'mungkin tidak'."
Dia menatapku lebih lekat dari sebelumnya. Kemudian memejamkan matanya sambil menopang dagu.
'Apa aku salah menjawabnya?'
"Kalau aku menghilangkan kata 'apa' berarti jawabannya 'mungkin iya'?"
Telak, dia memainkan kata lagi.
"Tanpa kata 'mungkin'." Jawabku.
Dia tersenyum, sumringah. Aku memalingkan wajahku darinya, menyembunyikan pipi yang sangat panas kurasakan.
"Bisan!"
Jarwi memanggilku dari jauh. Sekali lagi aku bisa meramal momenku akan hilang.
"Hei, kalian sedang membahas apa?" Tanyanya sambil duduk di kursi kosong sebelah. Aku merengut memadangnya, dia tak pintar menebak situasi dan kondisiku yang sedang dalam tahap memperjuangkan perjuangan.
"Belajar menghilangkan kata 'apa'." Jawab gadis di depanku, aku meliriknya sedikit. Dia menjawab pertanyaan sambil tersenyum ke arah Jarwi. Bagus, pipiku semakin panas.