Rabu, 27 Desember 2017

Berhadapan Di Depan

"Ini bukan yang pertama."  Kataku, melihatnya, sahabatku, yang siap mencecar tanya.
Kami sedang duduk di dekat balkon sebuah kafe dengan nuansa retro.  Bekas plat nomer dari berbagai provinsi, bahkan negara seperti terkesan dipamerkan meskipun aku tahu itu hanya sebagai hiasan.
"Lalu?" Dia bertanya.
Aku tersenyum mengalihkan pandangan ke luar. Pohon angsana mulai berguguran, sakura kuning, begitu dia disebut.
Aku masih menyukainya. Indah.
"Hal seperti ini aku pernah mengalaminya dulu, meski dengan cerita yang berbeda. Kau bilang 'tak masalah dia sepertinya juga suka'. Tahu darimana? Bukankah itu hanya asumsi?" Jawabku, kemudian menyeruput secangkir cappuccino di hadapanku. Rasanya masih sama seperti dulu, belum berubah.
"Kau tak menyadarinya? Bukan, apa kau tak mau menyadarinya?" Selidiknya.
Aku tertawa. Dia memang sahabatku. "Kau benar-benar teliti, aku bahkan tak bisa menyembunyikan seekor semut darimu."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, kau terlalu ahli kalau hanya untuk seekor semut. Sekarang katakan, kau hanya akan diam?"
Ku mainkan cangkir di hadapanku sambil memikirkan pertanyaannya, aku tahu jawabannya hanya saja sulit untuk mengatakannya.
"Kau tahu cerita laluku." Kataku, dia mengangguk.
"Kalau kau bilang trauma, aku tak akan menyangkalnya. Tapi, ini bukan tentang hal itu." Aku berhenti memainkan cangkir dan menatapnya.
"Cerita itu sudah berlalu, akan lebih baik memang kalau dia tak melakukannya."
Dia berhenti menghela nafas.
"Hanya saja, sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa ku ubah. Tuhan sudah memberitahukan lebih awal agar aku tidak jatuh terlalu keras. Aku bersyukur karenanya. Kau tahu kenapa aku begini?"
Dia menggeleng.
"Bukan karena kisah atau cerita yang mirip, hanya saja aku tak mampu bertemu dengan ketidakpastian lagi. Sayangnya, sesuatu yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri." Aku menundukkan kepala, kembali mengaduk secangkir cappuccino.
"Sejauh ini, aku hanya akan menundukkan pandanganku pada ketidakpastian itu. Sampai kepastian itu datang bertatapan langsung denganku."

Kamis, 12 Oktober 2017

Wish

Kau tahu. Sulit untuk melakukannya. Dengan angkuh aku bilang untuk membiasakannya, tapi sejauh ini tak pernah mampu terbiasa. Aku bilang membereskan cerita lalu, sejauh ini hanya mampu menepikannya ke hulu. Ini lebih baik, begitu kataku, kali ini aku mengakui tak ada beban bagiku untuk harus meneteskannya lagi.
'Aku akan menutupnya'.
Berulang kali kukatakan. Buku ini akan lebih baik bila aku menaruhnya di rak. Paling atas, agar aku tak mampu meraihnya lagi.
Satu, dua, tiga, bahkan empat, tapi sayangnya belum mampu aku membuka lembaran kosong lagi. Tak semudah kau membuka pintu lalu mempersilakannya masuk. Seperti aku masih menunggu, menunggu, dan menunggu. Atau mungkin aku hanya takut untuk membukanya lagi.
Jika kau berada di depan lalu bahkan selangkah pun tak bergerak sedangkan satu per satu hanya membiarkan gembok itu semakin bertambah. Sempurna, bahkan untuk menghadang debu masuk.
Sejauh ini aku hanya bisa mencoba tapi terlalu takut membuka. Salahkan aku yang belum bisa berdiri dan berlari lagi.
Bukan aku tak pernah menapaknya barang sejenak. Anggap saja aku hanya pengecut ulung. Penepis rindu. Penakut sejati.
Senja itu hanya perjalanan panjang yang tak pernah selesai. Aku belum pernah bertemu ujung akhirnya. Meredupnya warna langit pun hanya menghibur sisi sentimentalku.
Selama mata angin masih berbeda, garis waktu kita pun belum sama. Maka, tanganNya belum akan bekerja. Kata ‘andai’ yang terlalu tabu, buang saja. Tak ada guna. Karena Dia tak akan memutarkan jarum berbalik arah. Bukankah skenarioNya itu jauh lebih baik.
Penjagaan selamanya akan kuserahkan padaNya. Semoga Dia pun membersamai dan menunjukkan kunci yang tepat untuk membuka pintu rasa.