Sabtu, 25 Juli 2015

Secangkir kopi

Pukul 20.45 malam mereka sudah beranjak meninggalkan rumah. Hanya kali ini aku tidak ikut bersama mereka. Aku duduk di atas bambu yang dibuat melintang sebagai tempat duduk diantara pohon kersen sambil melambaikan tangan pada mobil mereka yang berangkat pergi pawai di malam hari. Aku tidak ikut, meskipun ingin.
'Hei' seseorang menyapaku, kutanya kenapa dia tidak ikut. Dia hanya senyum, 'rumahku udah kangen ku tidurin'. Aku menganggukkan kepala sambil membalas senyumannya.
Malam itu secangkir kopi, emping jagung, dan asap rokoknya menemaniku menggantikan rutinitas keramaian bersama mereka. Diawali dengan cerita keseharian masing-masing yang sudah lama tidak saling diketahui, beranjak ke cerita kehidupan sekitar yang buatku masih saja awam. Bercerita dan berbagi, hanya seperti ini yang kurindukan sebenarnya. Tidak perlu banyak orang yang datang berkumpul tetapi hanya sekedar musafir. Aku diam mendengarkannya bercerita sampai suatu kali terlanjur membicarakan masalah pribadinya. Bagian yang kutahu tentangnya sebelumnya hanya setengah dan sekarang aku bisa melihat dari sudut pandang lain. Tawa yang sebelumnya dilepaskan tentang masalahnya kurasa merupakan topeng yang rapi dipakai olehnya. Ada sudut pandang yang harus didengarkan dari orang pertama karena dia yang mengalami.
Angin malam mulai datang, mengantarkan hawa dingin yang dihangatkan oleh kopi panas. Aku menyeruputnya sedikit-sedikit. Aku sendiri hanya bertanya tentang hal yang sangat ingin kutanyakan untuk mendengarkan pendapatnya, meskipun ketika ku cerna aku memiliki pendapat yang lain. Aku mengungkapkannya tetapi dia menjawabnya dengan sederhana. Sampai pada suatu titik aku merasa 'bodoh' dan 'egois'. Begitu, aku membutuhkan ini. Suatu pembicaraan yang mengarahkanku agar membuka mata. Kopi panas sudah habis dan rokoknya pun sudah mencapai ujung. 'Nah, kan kenapa aku yang malah curhat disini'. Katanya. 'Tak apa, masih ada lain kali'. Aku tersenyum, menepuk pundaknya. Karena terkadang aku juga membutuhkan tepukan itu 'Tak apa ada aku, sahabat yang akan selalu mendengarkanmu'.

Selasa, 14 Juli 2015

Sorry?

Sorry is simple yet complicated word
Banyak analogi yang saya ketahui berkaitan dengan permintaan maaf. Salah satu yang masih saya ingat adalah dari dp (display picture) teman di bbm. Untuk nama tidak akan saya sebutkan karena itu adalah privacy.
Singkatnya seperti ini, 'ketika orang berbuat kesalahan diibaratkan seperti piring yang pecah kemudian apabila dengan mengucapkan kata maaf apakah piring itu dapat utuh kembali?'. Setidakmengertinya saya tentang hidup pasti pun akan menjawab hanya penyihir, peri, dan pesulap yang bisa membentuknya utuh lagi. Sayangnya dunia nyata bukan merupakan bagian dari sim salabim tokoh tersebut.
Sudut pandang saya mungkin berbeda dari analogi tersebut, karena menurut saya itu merupakan analogi yang egois. Ya, egois. There is no perfection in human being. Indeed. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbuat salah. Seperti setiap piring memiliki kesempatan yang sama untuk pecah. Ketika sebuah kesalahan diibaratkan dengan sebuah piring yang pecah, lalu apakah piring itu pecah dengan sendirinya? Apakah pemahaman piring yang pecah sama dengan pemahaman kesalahan yang dibuat?
Kalau ada pepatah Don't judge people by it's cover. Saya bilang, Don't judge people by it's mistake. Kesalahan adalah hal mutlak yang telah dilakukan dan itu tidak akan bisa diubah. Tak ada daya yg dapat mengubah kesalahan menjadi hal yg benar. Bagi saya, kesalahan adalah kesalahan. Tepat. Oleh karena itu, bukan sebesar atau sejauh mana kesalahan itu dilakukan. Namun, bagaimana kesalahan itu dipertanggungjawabkan. Bagaimana effort untuk mengakui dan memperbaikinya. Bukan menjadi utuh kembali seperti analogi piring itu, tetapi menjadi lebih baik lagi, lebih bermanfaat lagi. Bukankah piring yg pecah juga dapat bermanfaat lagi ketika didaur ulang? Seperti piring yang dapat bermanfaat lagi, setiap kesalahan juga selalu memiliki kesempatan untuk diperbaiki.
Effort. Andai semua orang menyadari dan memiliki itu.