Kau tahu. Sulit untuk melakukannya. Dengan angkuh aku bilang
untuk membiasakannya, tapi sejauh ini tak pernah mampu terbiasa. Aku bilang
membereskan cerita lalu, sejauh ini hanya mampu menepikannya ke hulu. Ini lebih
baik, begitu kataku, kali ini aku mengakui tak ada beban bagiku untuk harus
meneteskannya lagi.
'Aku akan menutupnya'.
Berulang kali kukatakan. Buku ini akan lebih baik bila aku menaruhnya di rak. Paling atas, agar aku tak mampu meraihnya lagi.
Satu, dua, tiga, bahkan empat, tapi sayangnya belum mampu aku membuka lembaran kosong lagi.
Tak semudah kau membuka pintu lalu mempersilakannya masuk. Seperti aku masih
menunggu, menunggu, dan menunggu. Atau mungkin aku hanya takut untuk membukanya
lagi.
Jika kau berada di depan lalu bahkan selangkah pun tak
bergerak sedangkan satu per satu hanya membiarkan gembok itu semakin bertambah.
Sempurna, bahkan untuk menghadang debu masuk.
Sejauh ini aku hanya bisa mencoba tapi terlalu takut membuka. Salahkan aku yang belum bisa berdiri dan berlari lagi.
Bukan aku tak pernah menapaknya barang sejenak. Anggap saja aku hanya pengecut ulung. Penepis rindu. Penakut sejati.
Senja itu hanya perjalanan panjang yang tak pernah selesai.
Aku belum pernah bertemu ujung akhirnya. Meredupnya warna langit pun hanya
menghibur sisi sentimentalku.
Selama mata angin masih berbeda, garis waktu kita pun belum
sama. Maka, tanganNya belum akan bekerja. Kata ‘andai’ yang terlalu tabu, buang
saja. Tak ada guna. Karena Dia tak akan memutarkan jarum berbalik arah.
Bukankah skenarioNya itu jauh lebih baik.
Penjagaan selamanya akan kuserahkan padaNya. Semoga Dia pun
membersamai dan menunjukkan kunci yang tepat untuk membuka pintu rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar