"Ini bukan yang pertama." Kataku, melihatnya, sahabatku, yang siap mencecar tanya.
Kami sedang duduk di dekat balkon sebuah kafe dengan nuansa retro. Bekas plat nomer dari berbagai provinsi, bahkan negara seperti terkesan dipamerkan meskipun aku tahu itu hanya sebagai hiasan.
"Lalu?" Dia bertanya.
Aku tersenyum mengalihkan pandangan ke luar. Pohon angsana mulai berguguran, sakura kuning, begitu dia disebut.
Aku masih menyukainya. Indah.
"Hal seperti ini aku pernah mengalaminya dulu, meski dengan cerita yang berbeda. Kau bilang 'tak masalah dia sepertinya juga suka'. Tahu darimana? Bukankah itu hanya asumsi?" Jawabku, kemudian menyeruput secangkir cappuccino di hadapanku. Rasanya masih sama seperti dulu, belum berubah.
"Kau tak menyadarinya? Bukan, apa kau tak mau menyadarinya?" Selidiknya.
Aku tertawa. Dia memang sahabatku. "Kau benar-benar teliti, aku bahkan tak bisa menyembunyikan seekor semut darimu."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, kau terlalu ahli kalau hanya untuk seekor semut. Sekarang katakan, kau hanya akan diam?"
Ku mainkan cangkir di hadapanku sambil memikirkan pertanyaannya, aku tahu jawabannya hanya saja sulit untuk mengatakannya.
"Kau tahu cerita laluku." Kataku, dia mengangguk.
"Kalau kau bilang trauma, aku tak akan menyangkalnya. Tapi, ini bukan tentang hal itu." Aku berhenti memainkan cangkir dan menatapnya.
"Cerita itu sudah berlalu, akan lebih baik memang kalau dia tak melakukannya."
Dia berhenti menghela nafas.
"Hanya saja, sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa ku ubah. Tuhan sudah memberitahukan lebih awal agar aku tidak jatuh terlalu keras. Aku bersyukur karenanya. Kau tahu kenapa aku begini?"
Dia menggeleng.
"Bukan karena kisah atau cerita yang mirip, hanya saja aku tak mampu bertemu dengan ketidakpastian lagi. Sayangnya, sesuatu yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri." Aku menundukkan kepala, kembali mengaduk secangkir cappuccino.
"Sejauh ini, aku hanya akan menundukkan pandanganku pada ketidakpastian itu. Sampai kepastian itu datang bertatapan langsung denganku."
More Than Words
When you see the light in the darkness
Rabu, 27 Desember 2017
Berhadapan Di Depan
Kamis, 12 Oktober 2017
Wish
Sabtu, 12 November 2016
We weren't really, 'talking'
Kalau daun sudah jatuh, memang tak kan bisa kembali lagi. Kalau kertas sudah robek, tak bisa disatukan lagi. Kalau sudah jauh teriak tak terdengar lagi. Sesekali membuka buku lama, belum semuanya terpapar tinta. Ketika kata coba dan sabar masih bisa bersatu, sayangnya terlampau lelah untuk berlari. Lari dan lari.
Kata apa yang ingin tersampaikan? Banyak. Tetapi tak mungkin tanpa pendengar. Maksud apa yang ingin disampaikan? Banyak. Tetapi tak mungkin tanpa penalar. Cerita apa yang ingin diperdengarkan? Tak ada. Tak bisa.
Melukis saja selama yang dibisa. Karena persepsi tak kan bisa dipahami tanpa dikatakan. Segara ketidakacuhan, tak kan dimengerti tanpa disadari. Lalu mana waktunya? Gunakan waktu lampau, sesekali saja bila memang baik-baik saja. Sayangnya sesekali pun tak baik.Lost of the word, we couldn't talk. We weren't really talking.
Rabu, 31 Agustus 2016
Ini Rahasia
"Kau mau pulang sekarang?" Tanyaku.
"Tidak ada alasan untuk tetap disini kan?"
Aku mengernyitkan dahi. "Kau marah?"
"Tidak."Jawabnya sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Bolpoin, kertas binder, laptop, dan chargernya.
Aku mengeluarkan secarik kertas kemudian menuliskan sesuatu disana. Dia meliriknya.
"Apa itu?"
"Rahasia." Ku bilang, kemudian melipatnya dan ku taruh di saku bajuku.
Dia mengernyitkan dahinya lagi. "Ya sudah." Katanya sambil menutup tas.
"Kamu nggak penasaran?"
"Bukannya kamu bilang rahasia?"
"Iya. Kamu nggak penasaran?"
Dia menghela nafas, menoleh ke arahku. "Jadi, apa itu?"
"Rahasia." Jawabku lagi.
"Bisan, kau sedang bermain-main denganku? Sudahlah, lupakan."Katanya lagi, kemudian beranjak pergi.
"Kamu."
"Eh?" Dia berbalik mendengar perkataanku.
Aku membuka kertas yang kulipat tadi kemudian kutunjukkan padanya.
Mukanya memerah setelah membaca tulisanku.
"Itu...."
"Ini rahasiaku, sekarang sudah menjadi rahasiamu juga."
Dia terdiam memandang kertas yang ditanganku. "Aku... Aku pulang dulu."Katanya.
"Ya."Jawabku, aku melihatnya berbalik melewati pintu kelas dan menghilang dari pandanganku.
Aku tersenyum, membalik kertas yang sedari tadi ku pegang, rahasiaku. Namamu.
Sabtu, 23 Juli 2016
Sedikit saja
Sekedar bercerita, tak banyak, hanya sedikit. Aku belum mengenali halnya sama seperti diawal. Percakapan itu tak dimulai dengan tawa pun dengan kesungguhan, seadanya. Cukup, sudah mengerti memang sekedarnya saja.
'Selamat pagi' pengulangan rutinitas saja tak ada inisiatif. Mungkin memang sampai diawal saja untuk mengetuk 'pintu'. Akan lebih baik untuk setiap ketidakyakinan yang muncul. Setiap pertanyaan kenapa yang tak bisa terungkap. Berbaik sangka saja hanya belum terbuka itu lebih baik.
Aku tak bisa dengan demikian permintaan seolah aku pernah menjejaknya. Bahkan memoriku samar bila pun aku pernah. Kurasa mungkin begitu cara Tuhan berkata 'belum waktunya'. Dibalik rasa cemas Dia mengerti bagaimana keadaan hati. Terutama mungkin agar tak dengan mudah percaya saja.
Rabu, 20 April 2016
You, Friend
Jarang kutuliskan sebab akibatmu ada disini, pun aku tak tahu apa, kapan, dan bagaimana. Selalu merenda bersama mungkin jawaban tepat. Entah filosofi apa yang kita anut. Entah keyakinan apa yang kita pegang. Namun, keberadaan mampu menyeka duri lain.
Cukup kau berada di sisi, tak sekedar berkata 'Kau baik?' untuk jawaban 'tak apa-apa.'
Aku masih mengaismu didalam hati, tak akan mempertanyakan kamu berdiri untuk siapa. Sudah cukup aku mengerti dengan genggaman erat tanganmu yang tak hanya sekali. Kita menatap bersama meyakinkan kita saling ada. I'm only one call away, right?
Terima kasih bukan kata yang sanggup menjelaskan semuanya. Melihatmu, kita, saling tersenyum tanpa berkata, ya, aku tahu maksudmu. Sahabat.
Ada
Pagi berjalan mendahului malam, enggan beriringan. Tak ada jalan lain berdampingan tak bisa juga. Ada yang masih berusaha meski tak nampak ujung benang merah. Ada yang memalingkan diri memaksa pergi ketika merasa batu kerikil jatuh berkali.
Ada keyakinan ketika memilih diantara dua, bukan. Sudah terjadi, kemudian tegaklah kembali diri. Daun yang sama tak akan gugur dua kali. Lari, angin, terbang.
Rekayasa waktu berusaha mengantarkan rasa membeku, dingin. Peraga tak akan menjawab. Keraguan tak bisa dilepas sendirian, riak bersauh. Diskusi ini tak bisa terasa tak asing. Belum mengerti dengan pola ini, lagi tak mau menyeka luka. Perih, tak sama. Sekali atau dua paling tidak pegangan ini tak pernah lepas.